MENGAJARđź“š

Keresahan ini muncul di tengah pandemi. Aku, yang tinggal di suatu desa kecil yang bahkan ibukota kabupatenku pun jarang orang ketahui, merasa resah di liburan kali ini. Adalah bohong jika aku berkata bahwa tiada yang bisa dilakukan selama libur era pandemi. 

Disini aku melihat, adik-adik, anak kecil di daerahku berusaha untuk sekolah di rumah. Bangun pagi, sarapan, dan berkelompok pergi ke rumah teman sekelompoknya. Emak-emak dan bapak-bapak ikut mengantar, lalu mereka belajar. Salah satu dari orang tua tetap tinggal untuk mengajari materi. Sayangnya, tidak semua orang tua paham bagaimana cara menyampaikan materi, bagaimana cara mengajar layaknya seorang guru, dan bagaimana memberitahu sebuah ilmu. Alhasil, siapa yang sekolah? Ketika anak kecil seusia kelas 2 SD lelah dengan tugas yang diberikan melalui ponsel pintar, mereka menangis, dan akhirnya orang tuanya yang menggantikan sang anak untuk mengerjakan tugas. 

Aku tak tahu bagaimana rasanya lelah belajar online semasa umur 8 tahun. Tapi, melihat hal itu hampir setiap hari, mendengar tangisan anak kecil yang lelah belajar, sedih rasanya. Pernah aku mengikuti kawanku mengajar bersama siswa kelas 3 SD. Sama saja, belajar tanpa tatap muka secara langsung bersama para guru. Ternyata sesulit itu. Mengajar anak-anak, tak semudah yang kita bayangkan. Jika kita pikir mengajari anak-anak itu gampang, cobalah pikir kembali. Poin intinya adalah bagaimana ilmu yang kita ajarkan bisa dipahami dengan baik?. 
Terlebih karena kemampuan setiap anak berbeda-beda dalam menyerap dan memahami pelajaran. Mereka hanya anak-anak dengan tingkah lugu saat sekolah di rumah. Baru saja ditinggal sebentar ke belakang langsung bermain-main dan lalai dengan tugasnya. 

Ada lagi. 
Bahkan, saat aku mengajari adik sepupuku sendiri yang sudah menginjak bangku kelas 5 SD pun sering terpancing emosi :(. Anak-anak memang tidak seharusnya menerima pembelajaran seperti ini karena memang sarana dan pra sarana pribadi kurang memadai. Lantas, banyak orang tua yang terpaksa membeli ponsel pintar demi anaknya bersekolah. Lalu bagaimana jika sama sekali tak mampu membeli ponsel pintar? Meminta bantuan teman adalah solusi. Agaknya memang anak-anak belum saatnya mengenal ponsel lebih jauh. Mereka belum tahu batasan untuk memainkan hp pintar yang bisa menjelajahi dunia. Yang mereka tahu seolah-olah hanya permainan belaka. 

Setidaknya dari pandemi ini aku belajar, bahwa mengajar anak-anak tidaklah mudah. Mengajari anak-anak butuh kesabaran, keuletan, dan persiapan matang. Setidaknya kita perlu memahami potensi setiap anak agar tidak terpancing emosi. Tantangan orang tua masa depan sudah nyata di depan mata. Nyatanya, menuntut ilmu bagi wanita bukan karena ingin menjunjung gengsi, tetapi semata adalah karena kita adalah calon orang tua yang harus mampu mendidik anak dengan cara yang baik dan benar. Mungkin kita tidak menjadi yang terpintar, tetapi setidaknya kita tahu bahwa saat ini kita diajar untuk mengajar.

ELD.

Komentar