PEKA

Disini, di secuil bagian kota yang tak terlalu penuh sesak, banyak hal yang mengajariku bagaimana cara bersyukur. Mengenai hari yang padat dan penuh dengan tugas. Mengenai memgejar target yang rasanya jauh untuk digapai. Mengenai lelah yang bahkan setiap hari harus aku temui. Mengenai rindu kepada induk semang yang harus kuat-kuat kutahan. Bagaimana bisa? Hmm, himpit demi himpit rumah-rumah yang sesak terkadang membuatku ingin terbawa dalam isak. Namun, sadar telah membuka mata hatiku bahwa semua ini hanya duniawi. Meskipun demikian, aku tidak lantas acuh dan menyerah. Tidak lantas berlihai-lihai dan bersantai begitu mudahnya. 

Kenapa aku tetap bertahan? Kenapa aku tidak menyerah saja? Aku kira aku bukan lagi seorang bayi. Seorang bayi yang masih belum mampu berbuat apa-apa. Semakin hari tentu kita semua dituntut untuk lebih dewasa. Dan setiap hari aku selalu disadarkan dengan lingkungan baru yang membuatku selalu ingat akan pentingnya bersyukur.

Lingkungan ini mengajariku rasanya peka. Peka bahwa Allah itu adil. Peka bahwa swmua ini adalah nikmat yang harus disyukuri . Kita berjuang untuk masa depan yang lebih baik sudah barang tentu. Kita semua pasti ingin mencapai hidup yang bahagia. Tujuan hidup di dunia bukankah ingin mencari keberkahan sebagai bekal di akhirat nanti? Kita harus mampu dan mau berusaha. Kita harus mampu dan mau merasakan lelah. Kita harus mau bersyukur. Kita harus peka. Sungguh aku benar-benar beruntung bisa merantau jauh dari rumah. Semua ini membuatku lebih merasa peka. Peka untuk senantiasa dekat demgan Yang Maha. 

Pagi buta, sudah ada si ibu penjual gorengan dengan suara yang khas "Gorengan Neng, sarapan Neng," tiap daun-daun pintu ia ketuk sembari mengatakan hal yang sama. Tangga demi tangga asrama ia pijak dengan membawa dua jinjingan di tangannya. Keluar dari pintu asrama, aku dapati serentet angkutan umum yang sengaja menunggu para mahasiswa di depan asrama. Ditambah mamang-mamang supir yang masih kedinginan. Sampai di kampus akan kutemu bapak-bapak penjual pulpen yang duduk di gerbang utama sembari mengatakan "Pulpennya mas mba dibeli tiga ribuan," masih kuingat satu ember pulpen utuh di depannya. Sampai kelas sudah tentu aku lihat mbak-mbak dan mas-mas petugas kebersihan sudah sibuk dengan kain pel dan sapunya. 

Seperti biasanya, kehidupan kampus berjalan. Menghadapi teman yang selalu mendapat nilai sempurna, teman yang selalu hangout selepas kuliah, teman yang membahas hal tingkat tinggi diluar jangkauan pikiranku, teman yang sibuk belajar, dan macam-macam teman lain yang banyak aku temui. Jenuh? Kadang aku merasa jenuh dengan keadaan yang demikian. Ingin segera aku sudahi saja. Tetapi pantaskah aku disebut manusia kuat jika begini saja aku sudah menyerah?

Manusia sering menilai orang dari luarnya saja. Jika ia melihat orang selalu bahagia di luar, belum tentu seseorang itu bahagia dalam hatinya. Nyatanya kita perlu banyak-banyak bersyukur dan peka terhadap lingkungan kita.

Selepas kuliah, aku akan berjalan menuju gerbang melewati puluhan penjual di kali lima dengan keramaiannya. Tak jarang kutemui anak-anak penjual tisu dan koran di masjid kampusku. Tak jarang juga kutemui pengamen dan peminta-minta. Selepas itu aku akan menaiki sebuah angkutan umum. Di jalan banyak hal yang membuatku semakin peka. Mengenai bapak tukang kerupuk yang selalu semangat bekerja, padahal ia hanya seorang tukang kerupuk. Bukan orang penting berpakaian bagus dan mahal. Mengenai ibu-ibu penjual sayur di pasar yang bahkan tertawa lepas bercengkrama dengan penjual lainnya. Padahal mereka hanya penjual sayur biasa. Bukan ibu-ibu sosialita yang bisa dengan mudahnya mendapat uang untuk berbelanja. 

Nyatanya kita harus peka bahwa semua yang kita lihat setiap hari, tanpa sadar mengajari kita caranya bersyukur. Kebahagiaan itu bukan diraih dengan materi yang banyak, nyatanya dengan hal sederhana kita tetap bisa bahagia. Coba kau lihat dan amati, kepekaan apa yang sudah kau dapat hari ini?
Jangan lupa untuk bersyukur dan saling berbagi dengan sesama :))
Lihat, bahagia sesederhana itu.
ELD

Komentar

Posting Komentar