Mentari Jakarta Timur bersinar cukup
terik. Sosok gadis berambut panjang menangis di roof top sekolahnya. Audi. Air matanya jatuh dan jatuh lagi.
Hatinya perih mendengar cemoohan Jesha tentang mamanya tadi.
“Jangan menangis,” ujar seorang pria sambil
menyodorkan sapu tangan ke arah Audi.
“Rafa..” air mata Audi kembali menetes.
“Perkataan Jesha tadi jangan kamu ambil
hati, dia nggak tau gimana rasanya jadi kamu, kamu harus sabar, Audi nggak
boleh cengeng,” Rafa kembali memberi semangat.
Dalam hati, Audi merasa tentram, ia
bahagia memiliki sahabat seperti Rafa yang selalu menyemangatinya.
“Fa..apa salah jika aku punya mama yang
tinggal di rumah sakit jiwa?” Tanya Audi.
“Audi, itu bukanlah suatu kesalahan, itu
adalah cobaan untuk kamu, kamu harus sabar dan terus berdo’a supaya mama kamu
cepet sembuh,” Rafa tersenyum. Senyum manis Rafa mambuat Audi ikut tersenyum.
Mama Audi mengalami frustasi berat dua
tahun silam akibat kepergian kakak Audi yang mengalami kecelakaan tragis. Kini
mama Audi menetap di rumah sakit jiwa. Meskipun demikian, Audi tak pernah
mengurangi sedikitpun rasa sayangnya kepada Sang Bunda.
***
Jam menunjukkan pukul 16.00 sore, Audi
mempercepat langkah kaki mungilnya. Ia berniat untuk menemui mamanya. Beruntung
karena sore itu ia libur bekerja. Ya, meskipun Audi merupakan orang berada,
namun ia memiliki pekerjaan paruh waktu. Ia memang sengaja bekerja untuk
menambah pundi-pundi uangnya agar ia dapat membawa mamanya pergi berobat ke
Singapura. Ia paham bahwa uang yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Namun demi
Sang Bunda ia rela melakukan apapun, termasuk bekerja keras dengan menjadi
seorang pelayan di salah satu coffe shop
di Jakarta Timur.
“Mama ini Audi, Mama apa kabar?”, audi
duduk di samping mamanya. Ia menatap wajah Sang Bunda dengan penuh kasih
saying.
“Mama yang sabar ya, Audi sedang
mengumpulkan uang demi Mama. Mama seneng kan? Sebentar lagi Mama akan sembuh,
kita akan seperti dulu lagi, ada aku, Mama, dan Papa,” ujar Audi, air matanya
jatuh. Mamanya hanya diam dengan tatapan kosong. Audi seakan bicara sendiri.
Audi menangis. Terkadang hanya kepada mamanya ia mencurahkan segala isi
hatinya. Meskipun pada akhirnya hanya wajah tanpa ekspresi dan tatapan kosong
yang ia dapati.
Rumah sakit jiwa itu ramai, penuh dengan
orang yang mengalami gangguan jiwa. Sesekali audi dapati orang yang dating
menjenguk, barangkali sama seperti dirinya, menjenguk keluarganya. Tak jarang
pula ia melihat orang-orang yang memiliki gangguan jiwa berlalu lalang di hadapannya.
Terkadang ia iri dengan orang-orang itu. Meskipun mereka berbeda tapi mereka
Nampak jauh dari permasalahan hidup yang keras ini.
Lama Audi memandangi wajah mamanya.
Meskipun mamanya tak memberi respon sama sekali, Audi merasa senang melihat
wajah orang yang selalu ia rindukan disetiap harinya.
***
Belum sampai di rumah Audi sudah
membayangkan kemarahan papanya karena pulang terlalu larut. Terlebih bila
papanya tau kalau Audi menjenguk mamanya. Bisa-bisa ia dimarahi habis-habisan.
Benar saja, sampai di rumah papanya
sudah menunggu di ruang tamu. Ah, memang hari ini Audi kurang beruntung. Saat
Sang Ayah menanyakan dari mana saja ia tadi, Audi bimbang. Ia tau papanya tak
akan senang bila Audi mengatakan bahwa ia telah menjenguk mamanya, Ia terpaksa
berbohong, Ia mengatakan bahwa ia telah mengerjakan tugas bersama
teman-temannya.
“Jangan bohong kamu Audi, Papa tau kamu
habis menjenguk Mama kamu kan?” nada suara papa Audi meninggi. Audi sedikit
terkejut. Bagaimana bias papanya tau?.
“Sudahlah jangan menjenguk Mamamu lagi,
sedah berapa kali Papa katakan,” tambah Sang Ayah.
”Kenapa Pa? Papa takut kalau banyak
orang yang tau soal Mama? Mama nggak berbeda Pa, kenapa sulit sekali bagi Papa
untuk menerima Mama dengan cobaan yang kini sedang menimpa Mama?” Audi membela
diri.
“Cukup Audi, pergi ke kamarmu, tidak
usah kamu pikirkan tentang Mama kamu lagi, Papa lelah,” kata papanya. Audi
ingin membela diri namun papanya terus mengisyaratkan agar ia diam dan masuk ke
bilinya. Apalah daya Audi yang hanya bias menuruti perintah Sang Ayah.
Audi menutup wajah cantiknya dengan bed cover untuk meredam suara tangisnya.
Audi menangis kuat namun teredam oleh bed cover tebal sehingga tak terdengar
suara isak sedikitpun.
Dering ponselnya membuat Audi tergeliat
bangun. Rafa is calling. Melihat
tulisan itu terpampang di layar ponselnya Audi bergegas menjawab panggilan dari
sahabatnya itu.
“Rafa..hiks..hiks..hiks..,” ujar Audi
sambil mengelap air matanya yang terus-terusan jatuh. Dari seberang sana Rafa
dapat merasakan perasaan Audi. Rafa tau pasti saat ini Audi membutuhkan tempat
untuk ia bersandar. Terbukti tangis Audi semakin menjadi ketika ia berusaha
untuk menceritakan apa yang terjadi.
“Sabar ya Di, hidup ini keras dan rumit
memang, kalau kita tak mampu bersabar mana bisa kita bertahan. Aku tau kamu
bias menghadapi cobaan ini, biarpun mendung amat tebal aku akan selalu menjadi
bintang terang untukmu, jadi kamu harus kuat,” kata Rafa dalam percakapan
telepon itu. Ah Rafa.. kenapa kamu begitu
sempurna, gumam Audi dalam hati. Benar saja, kata-kata Rafa seakan menjadi
secercik pelita mungil dalam hatinya. Rafa tak hanya tampan, ia juga pandai
mengobati luka hati Audi. Betapa beruntungnya Audi memiliki sahabat seperti
Rafa.
***
Langit mendung menyapa Jakarta Timur.
Hari yang seharusnya jadi hari yang panas kini menjadi hari yang kelabu. Waktu
serasa cepat menua karena awan-awan kelabu menghiasi kota,padahal waktu baru
menunjukkan pukul 13.00. Ya, Jakarta memang punya banyak rahasia dan teka-teki.
Terkadang cuaca sulit untuk diprediksi.
Siang itu entah dibawa oleh angin apa,
Audi pulang sekolah lebih awal. Ia berniat untuk melepas lelah dari seluruh
masalah dan beban yang menimpanya. Namun, betapa terkejutnya Audi ketika
didapatinya Sang Ayah sedang bersama seorang wanita di ruang tamu rumahnya.
Audi langsung berpikir yang tidak-tidak. Pikiran Audi semakin melayang ketika
kedua matanya melihat wanita itu dengan santai memegang tangan Sang Ayah.
“Papa,” Audi sedikit berteriak, tanpa
berpikir lebih lama ia langsung berlari menuju kamarnya.
Apakah
Papa ingin menggantikan Mama? Tuhan, Apakah hidup serumit ini? Kata Audi pada
dirinya sendiri. Pikirannya serasa berat nan kacau seakan berjuta persoalan
dengan tanda tanya besar menimpa kepalanya. Sesaat kemudian papanya datang.
Belum sempat papanya bicara, Audi menyela, “Papa mau ngejelasin soal apa? Soal
wanita itu? Papa mau menggantikan Mama? Jadi begitu?”, semua kata-kata itu
keluar dari mulut Audi seketika seakan mewakili kerisauan hatinya.
“Cukup Audi, Papa lelah kamu begini
terus, Papa hanya ingin kamu memiliki seseorang yang dapat membimbing kamu
ketika Papa sedang sibuk bekerja. Kamu semakin dewasa dan semakin membutuhkan
figur seoramg ibu, sayang,” kata Sang Ayah. Air mata Audi jatuh.
“Wah, melegakan sekali. Dua tahun kita
hidup tanpa Mama dan Kakak, Papa malah begini? Papa tidak tau apa yang
sebenarnya aku inginkan dan aku butuhkan. Apa pernah Papa berpikir bahwa setiap
hari aku merindukan Mama? Nyatanya tidak,” air mata Audi semakin menjadi. Audi
pergi meninggalkan papanya.Berulang kali Sang Ayah memanggilnya, namun ia tetap
berlari membawa air mata yang entah kapan berhenti membasahi pipinya.
Audi berlari menapaki jalan dan terus
menangis. Jakarta ramai, banyak orang berlalu lalang dan disibukkan oleh urusan
mereka masing-masing. Dengan demikian Audi semakin acuh akan keadaan
disekitarnya. Apakah ada yang peduli? Orang Jakarta yang sibuk terlalu membuang
waktu untuk memperhatikan orang lain. Audi teringat pada Rafa. Ya, Rafa pasti
bisa membantunya meredakan goresan luka hatinya lagi.ia teringat bahwa pada
hari ini Rafa ada jadwal latihan baskret. Audi mempercepat langkah kakinya
menuju sekolah berharap menemukan sosok yang ia cari. Dan yang ia harapkan
sangat terlampau jauh dari apa yang ia pikirkan. Belum sampai lima detik Audi
berdiri di pintu GOR sekolahnya ia berbalik. Audi berusaha keras untuk tak
mempercayai dengan apa yang ia lihat barusan. Rafa sedang duduk berdua bersama
Jesha, terlebih Jesha sedang ,engelap keringat yang membasahi dahi Rafa. Air
mata Audi kembali jatuh. Entah air mata apa. Yang jelas kini ia kembali
bersedih dan bersedih lagi.
***
Audi duduk menangis di samping makam
kakaknya. Sulit terasa untuk berucap. Mungkin hanya air mata yang dapat
menjawab apa yang ia rasakan. Deras air mata Audi membasahi pipinya. Ia bahkan
tak menghiraukan seragam sekolahnya yang kotor terkena tanah. Apakah hidup serumit ini? Kalimat itu
melayang di pikirannya. Suatu kaliamat Tanya yang belum ia temu jawabnya.
Langit semakin kelabu, butiran air hujan
dating membasahi Audi seakan langit ikut merasakan kesedihannya dan ikut
menangis bersamanya. Audi tak menghiraukan hujan yang semakin deras dan angina
yang bertiup kencang. Untuk pertama kalinya Rafa tiada disaat ia
membutuhkannya. Ah, air matanya semakin menjadi. Ia biarkan uadara dingin
menusuk tulang-tulangnya. Tiba-tiba Audi merasa bahwa air hujan tak lagi
membasahinya. Benar saja, Rafa memayungi tubuh mungilnya. Audi bangkit,
“Rafa..kamu..,” suara Audi terhenti, ia tak tau harus berkata apa, “Aku tak tau
apakah aku bodoh, dan kini aku amatlah bodoh, aku terlalu bodoh ketika aku
terlambat menjadi bahu untukmu menangis,” ujar Rafa lembut.
***
Hari itu Audi benar-benar tidak focus.
Pikirannya terus memikirkan kejadian kemarin ah, Rafa memang terkadang tak ada
logika. Bakso kantin favoritnya yang ia pesan nyaris tak tersentuh.
Aku
kenapa jadi begini sih? Gumam Audi dalam hati. Ia sungguh teringin untuk
meminta kejelasan pada Rafa, namun apalah dayanya? Ia makin gundah saja.
Seketika Rafa muncul dihadapannya, Audi jadi salah tingkah.
“Kamu kenapa Di,?” tanya Rafa. Rafa
ingin terkikik melihat tingkah Audi yang kebingungan melihat kedatangannya.
Audi berusaha keras untuk menjawab bahwa ia baik-baik saja namun tingkahnya
semakin kikuk. Rafa tertawa, Audi semakin tak karuan. Seketika tawa Rafa
terhenti melihat Jesha dating. Audi berkata, “Aku duluan Fa,” ujarnya ketus,
tak mau menjadi obat nyamuk. Rafa paham apa yang mrmbuat Audi bertingkah
demikian.
Ah Audi. Rafa
tersenyum.
***
Mendung, mendung, dan mendung kembali
menghiasi langit Jakarta. Audi duduk berpangku tangan menunggu pelanggan datang.
Mungkin orang-orang banyak yang malas untuk sekedar duduk bersantai di coffe
shop. Terlebih mendung membuat sore itu terlihat begitu gelap segelap hati
Audi. Terpecah dari lamunan, tiba-tiba Rafa dating bersama papa Audi. Audi
bangkit, terkejut dengan apa yang ia lihat.
“Papa, Rafa..” ujar Audi, Rafa
tersenyum. Refleks Sang Ayah memeluk Audi.
“Maafkan Papa Audi, maafkan Papa yang
terlalu egois. Papa tidak mengerti dan memahami apa yang kamu inginkan. Maafkan
Papa karena telah membuat kamu begini, maafkan Papa karena selama ini kamu tak
merasa bahagia, maafkan Papa,” pelukan Sang Ayah dibalas Audi erat. Audi
menangis haru. Apakah ini adalah jawaban dari pertanyaan yang selama ini
menghantuinya?
“Kenapa Papa tiba-tiba kemari?” Tanya
Audi sembari melepas pelukan papanya. Papanya memandang kea rah Rafa.
“Rafa kenapa kamu melakukan semua ini?” tanya
Audi,”Bukannya kamu..” belum selesai, Rafa menyela, “Kamu mungkin salah paham
akan Jesha kemarin, aku dan Jesha tidak memiliki hubungan apapun, dia
sebenarnya adalah saudara sepupuku, sikapnya yang dulu jahat padamu itu karena
Jesha iri sama kamu Audi,”kata Rafa menjelaskan.
“Iri? Memangnya ada orang yang iri
padaku yang memiliki hidup sangat menyedihkan ini?” Audi tak mengerti.
“Tentu saja ada, siapa yang tidak iri
padamu? Gadis cantik dan manis yang dicintai oleh pria sepertiku?” Rafa
tersenyum. Senyuman itu membuat Audi canggung.
“Aku sayang kamu Audi, maafkan aku yang
terlalu lama memendam rasa ini dan aku melakukan ini hanya untukmu,” kata Rafa.
Ah dia bisa saja membuat Audi meleleh.
Jawaban dari pertanyaan Audi kini ia
temu. Ayahnya akan memproses segera pengobatan mama Audi di Singapura sesuai
dengan apa yang Audi inginkan. Dan Audi, betapa beruntungnya ia bias disayangi
oleh seseorang yang amat tulus yaitu sahabatnya sendiri. Ah, segalanya telah
berubah. Segalanya berubah melalui
orang-orang dekat disekitarnya. Apakah
hidup erumit ini? Bagi Audi kini telah tidak berarti. Hidup memang rumit,
untuk itu perlu jiwa yang kuat untuk bertahan dihidup yang rumit ini.
-SELESAI-
Komentar
Posting Komentar